Bersepedalah maka engkau akan sembuh

>> 28 April 2009

Dalam suatu kesempatan berbincang di kantor dengan seorang teman-- yang adalah seorang desainer grafis lulusan salah satu institute seni terkenal di Yogyakarta—kami ngobrol cukup hangat, karena memang sudah cukup lama kami tidak bertemu. Biasa, setelah berbasa-basi saling menanyakan kesibukan masing-masing maka topik pembicaraan langsung berganti. Saya mulai bercerita tentang kesukaan saya merawat sepeda motor tua, dan diapun bercerita tentang hobinya bersepeda “downhill” .


Topikpun segera berganti ke sepeda. Saya mulai penasaran dan mulai meminta agar bercerita tentang segala hal tentang sepeda. Sengaja saya pancing dengan topic sepeda, karena di album foto facebook-nya, banyak gambar dengan tema sepeda.


Setelah berbicara seperempat jam lebih, ngalor ngidul, mulailah dia mengeluh terhadap hobi yang sedang dijalaninya itu, kantongnya sering jebol gara gara teman satu klubnya sering memanasi dia agar menggunakan komponen sepeda yang lebih branded. Apa mau dikata, review terhadap komponen tertentu dari temannyapun langsung di-iya-in. Karuan saja, kantongnya kedodoran terus.

Ternyata pengalaman teman yang satu ini tidak beda jauh dengan pengalaman ipar saya yang juga punya kegemaran mendandani sepeda.


Dalam berbagai obrolan, performa sepedanya dicitrakan tangguh mampu menghadapi segala medan. Sebagai konsekuensi dari hal ini tentu saja biaya yang dikeluarkan untuk memiliki ketangguhan sebanding dengan yang di dapat.


Kadang sambil menarik nafas dalam-dalam, untuk mencoba berfikir jernih, saya berfikir mengapa aktivitas bersepeda menjadi begitu mahal dan elit. Naik sepeda yang tadinya adalah kegiatan lumrah, belakangan ini menjadi aktivitas yang membutuhkan modal besar.


Dilihat dari logikanya, untuk mendapatkan barang yang baik tentunya membutuhkan modal. Besar kecilnya modal tergantung pada merk apa yang mereka pilih. Maklum saja sepeda yang mereka beli digunakan untuk kegiatan “ekstrem” seperti melompati gundukan dan menerabas jalan-jalan jelek dengan kecepatan tinggi. Sehingga modal yang dibutuhkan untuk membeli durabilitas itu memang tinggi.


Berefleksi dari hal ini, saya sendiri ingin mengkritisi kelakuan saya pada minggu ke-4 april 2009. Diam-diam saya mulai tertular virus sepeda. Saya rasa-rasakan perubahan ini terjadi bukan hal yang lumrah, nampaknya ada angin kencang dari luar yang mendorong saya untuk bersepeda.

Sudah pasti, bukan sepeda yang berharga jutaan yang saya pakai, tetapi hanya sebuah sepeda tua yang tidak jelas mereknya dan sudah dilas ulang pada bagian bodynya, serta pelek belakang yang mulai digerogoti karat, peyang,dan berban gundul- yang bukan tipe slick.


Pilihan terhadap barang ini, tidak berarti saya menomor dua-kan safety dan kenyamanan, tetapi lebih kepada idealisme dan semangat :’rebellion” dalam diri saya terhadap kondisi yang sedang berlaku.


Jika dirunut secara psikologis pasti ada masalah dibalik itu, seperti misalnya, tekanan terhadap kondisi keuangan saya yang tidak memungkin membeli sepeda dengan bandrol harga jutaan, sehingga sebagai reaksi terhadap terhadap tekanan tersebut , muncul suatu aksi yang harus dilakukan.


Aksi itu adalah menebus sepeda onta seharga kurang dari dua ratus ribu untuk berolah raga dan sekaligus melakukan protes terhadap teman-teman yang jor-joran meng-upgrade onderdil sepedanya secara berkala walaupun secara fisik barang yang diupgrade masih layak pakai dan belum waktunya diganti.


Dengan kata lain, saya ingin menunjukkan pada mereka bahwa bersepeda itu harus disertai dengan kesadaran, sebenarnya bersepeda itu mau apa? Jika ingin sehat, berarti tidak usah ikut-ikutan membeli sepeda dengan harga jutaan demi gengsi semata. Maka mengutip tulisan budayawan Yogyakarta Indra Tranggono,


Jika budaya bersepeda ini sudah menjadi gerakan massal, maka derajat sepeda pun akan meningkat: orang tidak malu lagi naik sepeda, meskipun sepedanya tergolong tidak trendi dan tidak mahal. Di sini yang dipentingkan adalah konteks bersepeda, bukan merek sepeda. Sebab, sepeda pun kini ada yang harganya jutaan. Jika orang mengejar merek, maka yang terjadi adalah persaingan. Cita-cita menanamkan pola hidup sederhana pun menjadi tidak berarti.”

0 comments:

  © Free Blogger Templates Autumn Leaves by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP